Jember, kabarejember.com
Indonesia perlu mengantisipasi perang dagang yang terjadi antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat melawan China. Pasalnya perang dagang diantara kedua negara tadi mempengaruhi kondisi ekonomi dunia, diantara efeknya adalah turunnya volume perdagangan dunia secara umum. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat ekonomi dunia seperti kawasan Eropa dan Asia selain tentu di Amerika Serikat dan China sendiri.
Imbasnya lagi, banyak harga komoditas global yang menjadi andalan Indonesia seperti minyak sawit (CPO), batu bara, tembaga dan lainnya yang harganya turun, hanya harga karet dan timah saja yang naik. Menurut Sugeng, perang dagang yang berkelanjutan bakal menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang merugikan semua pihak.
Oleh karena itu, salah satu langkah antisipasi yang diambil diantaranya memperkuat industri manufaktur di dalam negeri. Peringatan ini disampaikan oleh Sugeng, Deputi Gubernur Bank Indonesia saat diskusi terarah dengan para akademisi Universitas Jember di gedung rektorat (28/6).
“Namun perang dagang juga berarti membuka kesempatan bagi Indonesia. Ada komoditas yang biasanya diekspor oleh China ke Amerika Serikat yang kini dilarang oleh Amerika Serikat, dan sebaliknya. Nah kesempatan seperti ini yang harus kita rebut. Belum lagi dengan potensi dana yang masuk ke Indonesia, karena investor tidak nyaman dengan kondisi perang dagang baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun China,” jelas Sugeng yang pernah menjadi kepala perwakilan BI di New York ini.
Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China juga membuat nilai tukar Rupiah terhadap Dollar relatif aman. Dari data bank Indonesia nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dari awal Juni hingga 21 Juni 2019 menguat 0,85 persen. Kondisi ini diharapkan mendorong kembali aliran masuk modal asing dan makin memperkuat rupiah.
Modal Indonesia untuk mewaspadai perang dagang ini didukung dengan kondisi politik Indonesia yang stabil setelah Pemilu lalu yang berakhir dengan damai. “Banyak investor yang percaya bahwa demokrasi di Indonesia sudah berjalan baik sehingga mereka nyaman berinvestasi di Indonesia. Buktinya ketika pemerintah Indonesia menerbitkan obligasi Samurai Bond kepada investor di Jepang, tetap banyak yang tertarik bahkan dengan jangka waktu imbal hasil selama lima belas tahun. Ini bukti kita masih dipercayai oleh investor,” imbuh Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Jalannya diskusi terarah dimoderatori oleh M. Miqdad, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. dengan dihadiri para akademisi dari kalangan internal Universitas Jember dan perguruan tinggi negeri dan swasta di wilayah Besuki raya.
Dalam kesempatan ini M. Miqdad membeberkan sembilan hal yang patut mendapatkan perhatian pemerintah dan Bank Indonesia. Diantaranya menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat perekonomian dunia yang lesu, menjaga tingkat inflasi, memperkuat daya saing Indonesia dan menjaga kemandirian pangan serta mewaspadai deindustrialisasi.
“Pemerintah juga perlu meningkatkan tax ratio, dan pengawasan subsidi energi yang diagendakan. Kita juga harus mengawasi penyaluran dana desa yang direncanakan mencapai 70 triliun rupiah. Satu hal lagi, antisipasi terhadap pertumbuhan ekonomi digital dalam rangka revolusi industri 4.0,” jelas M. Miqdad. (Mia/iim/hms)